Arsip

Posts Tagged ‘Definisi’

Definisi LAW Huruf Syarat » Alfiyah Bait 709

11 Mei 2012 6 komentar
–·•Ο•·–

فصل لو

FASAL “LAW”

لَوْ حَرْفُ شَرْطٍ في مُضِيٍّ وَيَقِلْ ¤ إيلاؤها مُسْتَقْبَلاً لكِنْ قُبِلْ

LAW sebagai huruf syarat pada zaman madhi (masa telah lalu). Dan jarang sebagai syarat pada zaman istiqbal (masa akan datang) akan tetapi ini dapat diterima (menurut konteks tujuannya). 

–·•Ο•·–

Sebelumnya perlu diketahui bahwa penggunaan LAW dalam Bahasa Arab terdapat lima makna :

1. LAW Syarthiyah (pembahasan dalam Bab ini).

2. LAW Mashdariyah (masuk pada pembahasan Huruf Maushul/Takwil Mashdar)

3. LAW Lit-Taqlil (berfaidah menyedikitkan) contoh dalam hadits Nabi saw bersabda :

بلغوا عني ولو آية

BALLIGHUU ‘ANNIY WA LAW AAYATAN = sampaikan dariku walau sekira satu ayat.

أولم ولو بشاة

AWLIM WA LAW BI SYAATIN = berwalimahlah walau dengan sekira satu kambing.

4. LAW Lit-Tamanni (harapan kosong) contoh dalam Al-Quran :

فَلَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

FA LAW ANNA KARROTAN FA NAKUUNA MINAL MUSLIMIIN = maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’araa’ 102).

5. LAW Lil-‘Ardh (penampakan permohonan secara halus), contoh :

لو تنزل عندنا فتصيبَ خيراً

LAW TANZILU ‘INDANAA FA TASHIIBA KHAIRAN = sudilah kiranya anda mendatangi kami, maka semoga anda mendapat kabaikan.

oOo

LAW Syarthiyah termasuk dari adawat syarat yg bukan amil jazem, terbagi menjadi dua bagian :

1. LAW Syarhiyah Imtina’iyah (huruf syarat yg bersifat mengelak)
2. LAW Syartihyah Ghoiru Imtina’iyah (huruf syarat yg tidak bersifat mengelak)

LAW Syarthiyah Imtina’iyah

Law disini berfaidah mengajukan Jawab di atas Syarat yg dikemukakan. Demikian ini memastikan punya konteks Pengelakan Syarat (As-Syarthiyah al-Imtna’iyyah) sekalipun Syarat Imtina’iyah ini tidak terjadi pada kenyataannya. Sedangkan yg berbeda adalah pada dua sisi Jawabnya:

(I) Terkadang juga bersifat mengelak (Jawab Imtina’iyah): ciri-cirinya adalah apabila Syarat yg dikemukakan merupakan satu-satunya sebab dari timbulnya Jawab.

(II) Terkadang tidak bersifat mengelak (Jawab Ghair Imtina’iyah): ciri-cirinya adalah apabila Syarat yg dikemukakan bukanlah satu-satunya sebab timbulnya jawab, yakni Jawab bisa ditimbulkan oleh sebab lain bukan hanya oleh Syarat yg tercantum.

Contoh (I). Syarat dan Jawab sama-sama Imtina’iyah karena syarat adalah satu-satunya sebab dari timbulnya Jawab :

لو كانت الشمس طالعة كان النهار موجوداً

LAW KAANAT AS-SYAMSU THAALI’ATAN KAANA AN-NAHAARU MAUJUUDAN = kalau saja matahari itu terbit, maka siang itu ada.

Contoh (II). Syarat Imtina’iyah sedangkan Jawab Ghair Imtina’iyah karena syarat bukanlah satu-satunya sebab dari timbulnya Jawab :

لو ركب المسافر الطائرة لبلغ غايته

LAW ROKIBA AL-MUSAAFIRU AT-THAA’IROTA LA BALAGHA GHAAYATAHU = kalau saja musafir itu naik pesawat terbang, tentu dia sampai pada tujuannya.

Contoh (I) = Syarat Imtina’iyah dan juga Jawab Imtina’iyah, karena terbitnya matahari satu-satunya sebab adanya siang.

Contoh (II) = Syarat Imtina’iyah sedangkan Jawab Ghairu Imtina’iyah, karena naik pesawat bukanlah satu-satunya sebab sampainya pada tujuan, bisa sebab lain semisal naik motor, mobil, kapal laut dsb.

Keterangan diatas sebagai pencerahan atas ahli nuhat yg mengi’rob LAW Imtina’iyah tsb dengan sebutan “harfun imtinaa’in li imtinaa’in” (adalah huruf penolakan jawab karena penolakan syarat). Demikian masih menimbulkan pertimbangan sebab belum pasti sebagaimana pada contoh II diatas. Mungkin para Nuhat tsb memandang menurut ghalibnya. Adapun definisi yg mudah dalam menghi’rob sebagaimana yg didefinisikan oleh Imam Sibawaih “harfun yadullu ‘alaa maa kaana sa yaqo’u li wuquu’i ghoirihi” (adalah huruf yg menunjukkan atas suatu yang akan terjadi sebab perkara lain) yakni menunjukkan suatu yg bakal terjadi pada masa lalu disebabkan kemungkinan lain yg juga terjadi pada masa lalu. Contoh:

لو حضر أخوك لحضرت

LAW HADHORO AKHUUKA LA HADHORTU = kalau saja saudaramu itu hadir tentu akupun telah hadir.

Yakni kehadiranku bakal terjadi pada masa lalu itu andaikan saudaramu hadir pada masa lalu itu juga.

Dengan demikian definisi pengi’roban ala Sibawaihi tsb lebih mengena secara umum baik pada dua contoh sebelumnya (contoh I dan contoh II) diatas.

LAW Syarthiyah Ghairu Imtina’iyah

Law disini berfaidah menggantungkan Jawab (akibat) di atas Syarat (sebab) yg kemungkinan bisa terjadi ataupun tidak terjadi pada masa akan datang (mustaqbal). Dengan demikian dapat diserupakan maknanya dengan IN Syarthiyah di dalam hal hubungan ta’liq antara Jawab dan Syarat. Dan di dalam hal bahwa masa pada jumlah Syarat dan Jawabnya adalah masa mustaqbal.
Umumnya yg menjadi fi’il syarat dan fi’il jawab dari Law Ghairu Imtina’iyah ini, keduanya berupa Fi’il Mudhari’. Contoh :

لو يقدم خالد غداً لا أسافر

LAW YAQDUMU KHOOLIDUN GHADAN LAA USAAFIRU = Jikalau Khalid datang besok, maka saya tidak jadi pergi.

Dan apabilah Fiil yg mengiringi Law ghairu imtina’iyah ini berupa Fi’il Madhi maka harus ditakwil Mustaqbal. Contoh dalam Alqur’an :

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُواْ عَلَيْهِمْ

WALYAKHSYAL-LADZIINA LAW TAROKUU MIN KHOLFIHIM DZURRIYYATAN DHI’AAFAN KHOOFUU ‘ALAIHIM = Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. (QS. Annisaa’ 4).

Keterangan Ayat (QS. Annisaa’ 4) :

“TAROKUU” (mereka meninggal) = Fi’il Syarat berupa Fi’il Madhi yg ditakwil Fi’il Mustaqbal “YATROKUUNA”. Mengira-ngira penakwilan demikian, sebab lafazh “KHOOFUU” (mereka khawatir) sebagai Jawabnya. Yakni, kekhawatiran mereka itu terjadi sebelum mereka meninggal dunia, bukan setelah mereka meninggal dunia, yakni mustahil dalam konteks sesudah mereka mati.

Pengertian Ikhtishash dalam Kaidah Nahwu » Alfiyah Bait 620-621

15 Maret 2012 2 komentar
–·•Ο•·–

الاختصاصُ

BAB IKHTISHASH 

الاخـــتـــصـــاصُ كــــنـــــداءٍ دُونَ يـــــــــا  ¤ كَــأَيُّــهـــا الــفــتـــى بـــإِثْــــرِ ارْجُــونِـــيَـــا

Ikhtishash itu seperti Nida’ tanpa “Yaa” (tanpa huruf nida’), contoh “Ayyuhal-Fataa” setelah bekas lafazh “Urjuuniy” (Urjuuniy ayyuhal-Fataa = mengharaplah kalian kepadaku seorang pemuda). 

وقــــــــدْ يُــــــــرَى ذا دُونَ أيٍّ تِــــلْــــوَ أَلْ  ¤ كمِـثـلِ نـحـنُ الـعُـرْبَ أَسْـخَــى مَـــنْ بَـــذَلْ

Terkadang dipertimbangkan untuk Isim Mukhtash yg selain “Ayyun” dengan menyandang “AL”, contoh “Nahnul-‘Aroba askhaa man badzala” (Kami -orang-orang Arab- adalah paling murahnya orang yg dermawan). 

–·•Ο•·–

Pengertian Ikhtishash secara bahasa adalah Isim Mashdar dari Fi’il Madhi “Ikhtashshah” (mengkhususkan), sebagaimana contoh:

اختص فلان فلاناً بأمر

IKHTASHSHA FULAANUN FULAANAN BI AMRIN = Fulan menghususi Fulan dengan sesuatu perkara

Yakni meringkas si Fulan pada penetapan suatu perkara

Pengertian Ikhtishosh menurut istilah Nahwu adalah : mengkhususkan/meringkaskan hukum pada Dhamir selain ghaib dan sesudahnya ada Isim Zhahir Ma’rifat yg menjadi makna dari Isim Dhamir tersebut.

Contoh:

نحن المسلمين خير أمة أخرجت للناس

NAHNU AL-MUSLIMIINA KHAIRU UMMATIN UKHRIJAT LINNAASI = Kami -orang-orang Muslim- adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.

أنا طالب العلم لا تفتر رغبتي

ANA THAALIBUL-‘ILMI LAA TAFTURU RUGHBATIY = Saya -penuntut ilmu- takkan reda semangatku.

نحن الموقعين على هذا نشهد بكذا وكذا

NAHNU AL-MUWAQQI’IINA ‘ALAA HAADZAA NASYTAHIDU BI KADZAA WA KADZAA = Kami -yang bertandatangan dibawah ini- bersaksi demikian dan seterusnya…

Penjelasan Definisi :

  • Menghususkan hukum pada dhamir = Meringkas pengertian dhamir atas suatu hukum.
  • Dhamir selain ghaib = Umumnya Dhamir Mutakallim, atau dhamir Mukhatab tapi jarang seperti contoh:

أنت الخطيبَ أفصح الناس قولاً

ANTA AL-KHOTIIBA AFSHAHUN-NAASI QOULAN = Kamu -penceramah- paling fasihnya orang dalam berkata.

  • Sesudahnya ada Isim Zhahir Ma’rifat = Yakni ma’rifat sebab idhofah atau menyandang “AL” seperti pada contoh-contoh diatas.

Tujuan dari pada penyebutan Isim Zhahir adalah untuk mengkhususi Isim Dahmir, menjelaskan serta menghilangkan kesamaran. Dan dinamakan pula Isim Zhahir Manshub ‘Alal Ikhtishosh yakni dinashobkan oleh Fi’il yg wajib terbuang misalnya takdir fi’il : AKHUSHSHU (aku menghususkan) dan semisalnya.

Contoh dalam Hadits, Nabi saw bersabda :

إنا معشر الأنبياء لا نورث

INNAA MA’SYAROL ANBIYAA’I LAA NUUROTSU = Kami -kelompok para Nabi- tidak mewariskan.

إنا آلَ محمد لا تحل لنا الصدقة

INNAA AALA MUHAMMADIN LAA TAHILLU LANAA ASH-SHADAQATU = Kami -keluarga Muhammad- tidak halal bagi kami menerima sedekah.

Contoh I’robnya :

MA’SYAROL ANBIYAA’I = Dinashabkan atas Ikhtishash oleh Fi’il yg wajib dibuang, sebagai Jumlah Mu’taridhah antara Isim INNA dan Khabarnya, atau sebagai HAAL dari dhamir NAA.

Terkadang Ikhtishosh tersebut dengan menggunakan lafazh “AYYUN” (Mudzakkar) dan “AYYATUN” (Muannats) yg wajib mabni dhommah dalam mahal nashab, dan disambung dengan “HAA” (huruf Tanbih) menjadi “AYYUHAA” dan “AYYATUHAA”. Kedua lafazh Ikhtishosh ini tetap dalam bentuknya baik untuk mufrod, mutsanna dan jamak. Ditetapkan pula setelah keduanya ada Isim yg dirofa’kan sebagai NA’ATnya.

Contoh :

إني – أيها المسلم – نظيف اليد واللسان

INNIY AYYUHAL-MUSLIMU NAZHIIFUL-YADDI WAL-LISAANI = sesungguhnya saya -sebagai seorang muslim- harus bersih tangan dan ucapan.

إنني – أيتها المسلمة – أُحسنُ الححاب

INNANIY AYYATUHAL-MUSLIMATI UHSINUL-HIJAABI – sesungguhnya saya -sebagai seorang muslimah- harus memperbagus Hijab (penutupan aurat).

Sebagaimana disebutkan bahwa tujuan asal Ikhtishash adalah sebagai Takhshish (penghususan) atau Qashr (ringkasan) yg terkadang berfungsi Fakhr (kebanggaan) sebagimana dua contoh diatas. Dan terkadang berfungsi Tawadhu’ (kerandahan diri) seperti contoh:

أنا أيها العبد محتاج إلى عفو الله

ANA AYYUHAL-‘ABDU MUHTAAJUN ILAA ‘AFWILLAAHI = Saya-sebagai seorang hamba- sangat butuh akan Pengampunan Allah.

Dengan demikian penggunaan Ikhatishash itu ada dua :

1. Menggunakan “AYYUHAA” atau “AYYATUHAA”
2. Menggunakan Isim yg menyandang “AL” atau “Mudhaf”.

Disebutkan dalam Bait diatas bahwa Ikhtishosh serupa dengan Nida’ dalam keumuman penampakannya, yakni sama-sama menyertakan Isim yg kadang dimabnikan dhammah dan kadang dinashabkan, juga sama berfaidah Ikhtishosh, dan masing-masing digunakan untuk orang kedua (hadir) tidak untuk orang ketiga (ghaib).

Perbedaannya adalah Ikhtishash untuk Mutakallim juga Mukhatab, sedangkan Nida’ husus Mukhatab saja. Ikhtishash tidak menggunakan huruf Nida’ baik secara lafazh dan taqdir. Ikhtishosh tidak bisa dijadikan shodar kalam (awalan kalimat) sedangkan Nida’ bisa. Ikhtishash banyak menggunakan “AL” pada isim mukhtashnya sedangkan Nida’ tidak boleh menggunakan “AL” pada Munadanya kecuali dalam pengecualian sebagaimana telah disebut pada bab Nida’

Definisi Badal : Tabi’ maksud hukum tanpa perantara » Alfiyah Bait 565

25 Februari 2012 8 komentar
–·•Ο•·–

الْبَدَلُ

BAB BADAL 

التَّابعُ المَقْصُودُ بالْحُكْمِ بلا ¤ وَاسِطَةٍ هُوَ المُسَمَّى بَدَلا

Isim Tabi’ yang dimaksudkan oleh penyebutan hukum tanpa perantara (huruf Athaf), demikian dinamakan Badal. 

–·•Ο•·–

Bab ini menerangkan bagian ke lima dari Isim-isim Tawabi’, yaitu BADAL.

Definisi Badal : Isim Tabi’ yang dimaksudkan oleh penyebutan hukum dengan tanpa perantara huruf Athaf antara Badal dan Mubdal Minhunya. Contoh:

عَمَّ الرخاء في زمن الخليفة عمر بن عبد العزيز

AMMA AR-RAKHAA’U FIY ZAMANI AL-KHALIIFATI ‘UMARO BNI ‘ABDIL ‘AZIIZI = Ketentraman menyeluruh pada masa Khalifah Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz.

Lafazh UMARO = Sebagai badal dari lafazh KHALIIFATI, dan sebagai lafazh yg dimaksudkan oleh penisbatan hukum.
Andaikan cukup hanya menyebut Khalifah maka tidak diketahui siapakah Khalifah yang dimaksud, karena sebutan Khalifah bukanlah maksud dari dzat Umar bin Abd Aziz itu sendiri. Akan tetapi sebutan Kholifah sebagai Tamhid (pembuka) bagi lafazh sesudahnya, agar kalimat diterima lebih kuat didalam hati si pendengar.

Penjelasan Definisi :

TABI :

Isim jenis bagian dari Tawabi’.

YANG DIMAKSUDKAN OLEH HUKUM :

Sebagai qayyid awal atau sebagai batasan definisi bagian pertama untuk membedakan dengan pengertian Tawabi’ yang lain seperti Na’at, Athaf Bayan dan Taukid, karena Tabi’-tabi’ tsb sebatas penyempurna bagi Matbu’nya yg dikenai penisbatan hukum, dan bukan sebagai Tabi’ yang dinisbati oleh hukum itu sendiri.

Qayyid diatas juga dapat membedakan dengan pengertian Athaf Nasaq dengan Huruf Wawu dan serupanya, contoh:

جاء صالح وعاصم

JAA’A SHAALIHUN WA ‘AASHIMUN = Shaleh dan Ashim telah datang.

Maksud hukum (JAA’A) pada contoh ini tidak hanya tertuju pada Tabi’ (AASHIMUN) tapi juga tertuju pada Matbu’ (SHAALIHUN).

Demikian juga Ma’thuf dengan huruf “LAA”, contoh:

جاء عاصم لا صالح

JAA’A ‘AASHIMUN LAA SHAALIHUN = Ashim datang Zaid tidak.

Lafazh setelah huruf Athaf LAA yaitu lafazh “SHAALIHUN” sebagai Tabi’ tapi tidak dikenai maksud hukum.

Demikian juga Ma’thuf dengan huruf “BAL” setelah nafi (kalimat negative), contoh:

ما جاء صالح بل عاصم

MAA JAA’A SHAALIHUN BAL ‘AASHIMUN = Shaleh tidak datang tapi Ashim.

yang dikenai maksud hukum “tidak datang” dalam contoh ini adalah Matbu’ yaitu lafazh SHAALIHUN.

TANPA HURUF PERANTARA:

Sebagai Qayyid Tsani atau sebagai batasan definisi bagian kedua untuk membedakan dengan Ma’thuf dengan huruf BAL setelah kalam itsbat (kalimat positive), contoh:

جاء صالح بل عاصم

JAA’A SHAALIHUN BAL ‘AASHIMUN = Shaleh datang namun Ashim.

Lafazh ‘AASHIMUN = sebagai Tabi’ yang dikenai maksud hukum, tapi disini ada huruf perantara yaitu BAL, oleh karenanya tidak dinamakan Badal.

Definisi Athaf Nasaq » Alfiyah Bait 540-541-542

25 Februari 2012 4 komentar
–·•Ο•·–

عَطْفُ النَّسقِ

ATHAF NASAQ 

تَالٍ بحَرْفٍ مُتْبعٍ عَطْفُ النَّسَقْ ¤ كَاخصُصْ بوُدٍّ وَثَنَاءٍ مَنْ صَدَقْ

Isim tabi’ yg mengikuti dg huruf penghubung (antara Tabi’ dan Matbu’nya), demikian definisi Athaf Nasaq. Seperti contoh “Ukhshush bi waddin wa tsanaa’in man shadaqa” = Istimewakan..! dengan belas kasih dan sanjungan terhadap orang-orang yg jujur. 

فَالْعَطْفُ مُطْلَقاً بِوَاوٍ ثُمَّ فَا ¤ حَتَّى أمَ أوْ كَفيكَ صِدْقٌ وَوَفَا

Athaf yg mengikuti secara Mutlaq (lafazh dan Makna) yaitu dengan huruf Athaf Wawu, Tsumma, Fa’, Hatta, Am, dan Aw. Seperti contoh “Fiika shidqun wa wafaa” = kamu harus jujur dan menepati.   

وَأتْبَعَت لَفْظاً فَحَسْبُ بَلْ وَلا ¤ لَكِنْ كَلَمْ يَبْدُ امْرُؤٌ لَكِنْ طَلَا

Sedangkan huruf Athaf yg cukup mengikutkan secara lafazhnya saja, yaitu Bal, Laa dan Laakin. Seperti contoh “Lam yabdu imru’un laakin tholaa” tidak tampak seorangpun melainkan anak rusa.   

–·•Ο•·–

Definisi Athaf Nasaq :

Isim Tabi’ yang terdapat perantara di antara Tabi’ dan Matbu’ dengan salah satu huruf Athaf.

Definisi Nasaq menurut bahasa adalah Isim Mashdar “NASQUN” yg berarti “penyusunan teratur” contoh: NASAQTU AL-KALAAMA = aku menyusun/mengatur kalimat. yakni mengathafkan satu bagian kepada bagian yg lain sehingga bagian-bagian tersebut beriringan secara teratur.

oOo

Huruf-huruf Athaf semuanya ada sembilan dan terbagai menjadi dua bagian:

1. Bagian pertama dari Huruf-huruf Athaf yg melaksanakan Tasyrik (penyekutuan) secara lafazh dan makna.

Penyekutuan secara Lafazh dimaksudkan adalah didalam hukum i’robnya. Penyekutuan secara makna dimaksudkan adalah menetapkan pada Ma’thuf dengan hukum yang ditetapkan pada Ma’thuf ‘Alaih. Penetapan demikian berlaku pada Athaf Mufrod, sedangkan Athaf Jumlah tidak berlaku Faidah Tasyrik (penyekutuan).

Bagian huruf Athaf disini ada enam huruf :

1. Wawu
2. Tsumma
3. Huruf Fa’
4. Hattaa
5. Am
6. Aw

Contoh:

جاء خلد وعلي

JAA’A KHOOLIDUN WA ‘ALIYYUN = Khalid dan Ali telah datang

حضر الطلاب ولم يحضر المدرس

HADHARA AT-THULLAABU WA LAM YAHDHUR AL-MUDARRISU = para siswa telah hadir dan para guru belum hadir.

oOo

2. Bagian kedua dari Huruf-huruf Athaf yg melaksanakan Tasyrik (penyekutuan) secara lafazhnya saja tidak secara makna.

Tasyrik secara Lafazhnya, yakni secara i’robnya. Dan tidak secara makna, yakni tidak menghukumi Ma’thuf dengan hukum secara makan yg ada pada ma’thuf Alaih.

Bagian huruf Athaf disini ada tiga huruf :

1. Bal
2. Laa
3. Laakin

Contoh:

ما جاء الضيف بل ولده

MAA JAA’A ADH-DHAIFU BAL WALADUHU = Tamu itu tidak datang tapi anaknya.

Definisi Athaf Bayan, Idhah, Takhshish, Jamid tanpa Takwil » Alfiyah Bait 534-535

24 Februari 2012 2 komentar
–·•Ο•·–

العطف

BAB ATHAF

عطف البيان

ATHAF BAYAN 

الْعَطْفُ إِمَّا ذُو بِيانِ أوْ نَسَقْ ¤ وَالْغَرَضُ الآن بَيانُ مَا سَبَقْ

Athaf terbagi: pertama Athaf Bayan, kedua Athaf Nasaq. Sasaran kali ini menerangkan bagian Athaf yg pertama (Athaf Bayan). 

فَذُو الْبَيَانِ تَابعٌ شِبْهُ الصِّفَهْ ¤ حَقِيقَةُ الْقَصْدِ بِهِ مُنْكَشِفَهْ

Athaf Bayan adalah Tabi’ menyerupai sifat, yang-mana hakekat yang dimaksud menjadi terungkap dengannya.   

–·•Ο•·–

Bab ini menerangkan bagian ketiga dari Isim Tawabi’ yaitu ATHAF.
Athaf terbagi dua:

1. Athaf Bayan
2. Athaf Nasaq (akan diterangkan setelah Bab ini)

Definisi Athaf Bayan : Isim Tabi’ yg berfungsi sebagai Idhah (penjelas) atau sebagai Takhshish (pengkhusus), berupa Isim Jamid tanpa takwil.

Penjelasan Definisi :

TABI’ :

adalah Isim Jenis bagian dari Tawabi’.

IDHAH :

Apabila Matbu’nya berupa Isim Ma’rifah, untuk menghilangkan perkara serupa yang beredar dan mengarah pada maksud Isim Ma’rifah, dikarenakan mempunyai banyak kepenunjukan.

TAKHSHISH :

Apabila Matbu’nya berupa Isim Nakirah, untuk membatasi kepenunjukannya dan mempersempit jangkauannya.

Contoh sebagai Idhoh (penjelasan):

أكرمت محمداً أخاك

AKROMTU MUHAMMADAN AKHOOKA = aku memulyakan Muhammad Saudaramu.

Lafazh AKHOOKA = berfungsi untuk menjelaskan maksud daripada lafah “MUHAMMADAN” -sekalipun berupa Isim Ma’rifat- andaikan tanpa penyebutan Tabi’, maka ia tetap membutuhkan tambahan keterangan dan penjelasan.

Contoh sebagai Takhshish (penghusus):

سمعت كلمة خطبةً كثيرة المعاني قليلة الألفاظ

SAMI’TU KALIMATAN KHUTHBATAN KHATSIIROTAL-MA’AANIY QOLIILATAL-ALFAAZHI = saya telah mendengar kalimat khotbah yang kaya akan makna nan simpel lafazhnya.

Lafazh KHUTHBATAN = sebagai Athaf Bayan, digunakan sebagai pengkhusus dari Isim Nakirah “KALIMATAN” dikarenakan banyaknya kepenunjukannya bisa kalimat syair, kalimat natsar, kalimat khotbah, kalimat peribahasa dll. Oleh karena itu andaikan tanpa menyebut Tabi’ maka lafazh “KALIMATAN” tetap dalam status keumumannya didalam banyaknya kepenunjukannya.

Penyebutan Qoyyid IDHOH dan TAKHSHISH ini, untuk mengeluarkan pengertian Tabi’ TAUKID, Tabi’ ATHAF NASAQ dan Tabi’ BADAL.

Contoh Taukid :

جاء الأمير نفسه

JAA’A AL-AMIIRU NAFSUHUU = Penguasa telah datang sendirinya.

Contoh Athaf Nasaq :

قرأت التفسير والحديث

QORO’TU AT-TAFSIIRO WA AL-HADIITSA = aku membaca Tafsir dan Hadits.

Contoh Badal :

قضيت الدين نصفه

QODHOITU AD-DAINA NISHFAHUU = Aku melunasi hutang separuhnya.

Ketiga contoh Tabi’ diatas sesungguhnya bukan sebagai IDHOH bagi kalimah Matbu’.

Adapun Tabi’ NA’AT tidak keluar dari definisi qayyid IDHOH dan TAKHSIS tapi keluar dari qayyid lain. Na’at dan Athof Bayan bersekutu dalam hal fungsi Idhoh, akan tetapi pada Athof Bayan berfungsi sebagai penjelasan bagi dzat Matbu’, yakni penerangan eksistensi hakikat asalnya. Sedangkan pada Na’at bukan sebagai penjelasan secara langsung terhadap dzat asal Matbu’nya (man’utnya), tapi sebagai keterangan Sifat diantara sifat-sifatnya.

Contoh perbedaan fungsi IDHAH antara Na’at dan Athaf Bayan :

Contoh Na’at :

هذا خالد الكاتب

HAADZAA KHOOLIDUN AL-KAATIBU = ini adalah Khalid sang sekretaris.

Lafazh AL-KAATIBU = sebagai Na’at sebagai keterangan atau penjelas bagi Matbu’nya dengan menyebut sifat diantara sifat-sifatnya.

Contoh Athaf Bayan :

هذا التاجر خليل

HAADZAA AT-TAAJIRU KHOLIILUN = Dia ini seorang pedagang (dia) Khalil.

Lafazh KHOLIILUN = sebagai Athaf Bayan sebagai penjelasan dzat Matbu’ AT-TAAJIRU.

JAMID :

Umumnya Athaf Bayan berupa Isim Jamid, demikian juga membedakan dengan Na’at yang umumnya berupa Isim Musytaq.

TANPA TAKWIL :

Yakni tanpa ditakwil isim musytaq, juga sebagai pembeda dari Naat Jamid yg harus ditakwil Isim Musytaq, seperti contoh Naat yg berupa Isim Isyaroh :

مررت بعلي هذا

MARORTU BI ‘ALIY HAADZAA = aku berjumpa dengan Ali ini.

Lafazh HAADZAA = sebagai Naat Jamid yg ditakwil : yang hadir ini.

Pengertian Tamyiz » Alfiyah Bait 356-357

21 Desember 2011 6 komentar

 

–·•Ο•·–

التمييز

AT-TAMYIZ

اِسمٌ بِمَعْنَى مِنْ مُبِينٌ نَكِرَهْ ¤ يُنْصَبُ تَمْيِيزاً بِمَا قَدْ فَسَّرَهْ

Adalah isim yang menunjukkan makna Min, yang jelas serta Nakirah, dinashobkan sebagai Tamyiz oleh lafaz yg ditafsirinya. 

كَشِبْرٍ أرْضًّا وَقَفِيزٍ بُرًّا ¤ وَمَنَوَيْنِ عَسَلاً وَتَمْرًا

Seperti “SYIBRIN ARDHON” = Sejengkal tanah (Tamyiz dari ukuran jarak), “QOFIIZIN BURRON” = Sekofiz gandum (Tamyis dari ukuran takaran), “MANAWAINI ‘ASALAN WA TAMRON” = Dua Manan madu dan kurma (Tamyiz dari ukuran berat). 

–·•Ο•·–

Pengertian Tamyiz adalah: Isim Nakiroh yg menunjukkan makna Min, sebagai penjelasan lafazh samar sebelumnya. contoh:

اشتريت رطلاً عسلاً

ISYTAROITU RITHLAN ‘ASALAN* = aku membeli satu Ritl madu.

* lafazh “‘ASALAN” adalah Tamyiz, karena berupa Isim dengan dalil tanwin, dan Nakiroh yg mengandung makna MIN lil bayan, yakni takdirannya “MINAL-‘ASALI” berfungsi untuk menjelaskan kalimah sebelumnya yg samar. karena perkataan ISYTAROITU RITHLAN masih mengundang kesamaran, pendengar tidak akan faham apa yg dikehendaki dengan RITHLAN, apakah madu ataukah kurma atau beras?. oleh karena itu perkataan Rithl sepantasnya diberi penjelasan atau Tamyiz oleh lafazh-lafazh lain yg dimaksud, sebagaimana contoh ‘ASALAN maka hilanglah kesamaran dan dapat difahami serta jelas apa yg dimaksud.

Keluar dari defini Tamyiz Nakirah, yaitu berlafazh Ma’rifah. contoh :

هذا الرجل طاهرٌ قلبَه

HAADZA AR-ROJULU THOOHIRUN QOLBA HU*

*Menashobkan lafazh QOLBA HU, sekalipun sebagai penjelasan bagi lafazh samar sebelumnya, tapi ini tidak dinamakan Tamyiz karena berupa Isim Ma’rifah, dinashobkan oleh sifat Musyabbahah sebagai Maf’ul Bih (Insya Allah akan dijelaskan nanti secara khusus pada Bab Sifat Musyabbahah).

Keluar dari definisi Tamyis yg punya makna MIN, yaitu HAAL yg punya makna FI.

Keluar dari defini Tamyiz menjelaskan lafazh samar sebelumnya, yaitu Isimnya LAA Nafi Jinsi. contoh:

لا رجل في المسجد

LAA ROJULA FIL-MASJIDI*

*lafazh ROJULA sekalipun mengandung makna MIN yakni MIN ROJULIN, tapi fungsinya bukan untuk menjelaskan, namun sebagai Min Lil Istighroq.

Tamyiz ada dua:

  1. Tamyiz Mufrod atau disebut Tamyiz Dzat
  2.  Tamyiz Jumlah atau disebut Tamyiz Nisbat

1. TAMYIZ MUFROD ATAU TAMYIZ DZAT:

Digunakan sebagai Tamyiz bagi lafazh-lafazh yg menunjukkan :

1. Adad/bilangan.
2. Ukuran Jarak
3. Ukuran Takaran
4. Ukuran Berat

Contoh Tamyiz Dzat atau Tamyiz Mufrad untuk lafazh Adad/bilangan:

اشتريت ستة عشر كتاباً

ISYTAROITU SITTATA ‘ASYARO KITAABAN = aku membeli enam belas kitab

Contoh Tamyiz Dzat atau Tamyiz Mufrad untuk lafazh ukuran jarak:

اشتريت ذراعاً صوفاً

ISYTAROITU DZIROO’AN SHUUFAN = Aku membeli satu Dzira’ (satu hasta) kain wool.

Contoh Tamyis Dzat atau Tamyis Mufrad untuk lafazh ukuran takaran:

اشتريت إردباً قمحاً

ISYTAROITU IRDABBAN QOMHAN = Aku membeli satu Irdabb (24 Gantang) Gandum.

Contoh Tamyis Dzat atau Tamyis Mufrad untuk lafazh ukuran berat/timbangan:

اشتريت رطلاً سمناً

ISYTAROITU RITHLAN SAMNAN = aku membeli satu Rithl minyak Samin.

Atau diberlakukan juga untuk lafazh-lafazh yang serupa dengan ukuran-ukuran, contoh:

صببت على النجاسة ذنوباً ماءً

SHOBIBTU ‘ALAA ANNAJAASATI DZANUUBAN MAA’AN = Aku menuangkan pada Najis satu timba air.

اشتريت نحياً سمناً

ISYTAROITU NIHYAN SAMNAN = Aku membeli satu Nihy minyak samin (Nihy : wadah kantong dari kulit khusus tempat samin).

Contoh dalam Al-Qur’an:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ

INNALLADZIINA KAFARUU WAMAATUU WAHUM KUFFAARUN FALAY-YAQBALU MIN AHADIHIM MIL’UL-ARDHI DZAHABAN WALAWIFTADAA BIH.*

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu.. (QS. Ali Imron : 91).

*Lafazh “DZAHABAN” = emas, dinashobkan sebagai Tamyiz dari lafazh serupa ukuran-ukuran yaitu lafazh “MIL’UL-ARDHI” = sepenuh bumi.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

FAMAY-YA’MAL MITSQOOLA DHARROTIN KHOIROY-YAROH. WAMAY-YA’MAL MITSQOOLA DZARROTIN-SYARROY-YAROH*.
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Al-Zalzalah :7-8)

*Lafazh “KHIRON dan SYARRON” dinashobkan sebagai Tamyiz dari lafzh serupa ukuran timbangan, yaitu lafazh “MITSQOOLA DZARROTIN”.
*****

2. TAMYIZ JUMLAH ATAU TAMYIZ NISBAT:

Yaitu Tamyiz untuk menghilangkan kesamaran makna umum dari penisbatan dua lafazh di dalam tarkib jumlah.

Tamyiz Nisbat/Jumlah dalam pertimbangan asalnya terbagi dua macam:

1. Tamyiz Nisbat peralihan dari Faa’il, contoh:

حَسُنَ الشاب خلقاً

HASUNA ASY-SYAABBU KHULUQON* = pemuda itu baik akhlaqnya

*Lafazh “KHULUQON” dinamakan Tamyiz Nisbat, karena menghilangkan kesamaran penisbatan “HASUNA” kepada lafazh “ASY-SYAABBU”, sebagai Tamyiz nisbat peralihan dari Fa’il, karena asalnya :

حَسُنَ خُلُقُ الشاب

HASUNA KHULUQU ASY-SYAABBI = Akhlaq pemuda itu baik.

Contoh dalam Al-Qur’an:

واشتعل الرأس شيباً

WASYTA’ALAR-RO’SU SYAIBAN* = dan kepalaku telah ditumbuhi uban (QS. Maryam :4)

*Lafazh “SYAIBAN” sebagai Tamyiz Nisbat peralihan dari Fa’il lafazh “RO’SU” karena takdirnya: WASYTA’ALA SYAIBURRO’SI.

2. Tamyiz Nisbat peralihan dari Maf’ul, contoh:

وَفَّيْتُ العمال أجوراً

WAFFAITUL-‘UMMAALA UJUURON* = aku membayar para pekerja itu ongkos

*Lafazh “UJUURON” sebagai Tamyiz Nisbat menghilangkan kesamaran penisbatan “WAFFAITU” kepada “UMMAALA” disebut Tamyiz Nisbat Manqul dari Maf’ul, karena asalnya adalah: “WAFFAITU UJUUROL-UMMAALI” = aku membayar ongkos para pekerja.

Contoh dalam Al-Quran:

وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا

WA FAJJARNAA AL-ARDHO ‘UYUUNAN* = Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air (QS. Al-Qomar 12)

*Lafazh “UYUUNAN” adalah Tamyiz Nisbat yg dimanqul/dialihkan dari Maf’ul Bih, karena taqdirannya adalah: “WAFAJJARNAA ‘UYUUNAL-ARDHI.

Hukum I’rob TAMYIZ umumnya adalah Nashob. adapun Amil yg menashobkan bagi Tamyiz Dzat adalah Isim Mubham/isim yg samar. sedangkan Amil yg menashobkan Tamyiz Nisbat adalah Musnadnya yg berupa kalimah Fi’il atau yg serupa pengamalan Fi’il.

Pengertian Hal » Alfiyah Bait 332

18 Desember 2011 19 komentar
–·•Ο•·–

الحال

AL-HAL

الْحَالُ وَصْفٌ فَضْلَةٌ مُنْتَصِبُ ¤ مُفْهِمُ فِي حَالِ كَفَرْداً أَذْهَبُ

HAL adalah Sifat, sambilan, manshub, dan menjelaskan tentang keadaan seperti sendirian aku pergi = “FARDAN ADZHABU” 

–·•Ο•·–

Hal terbagi dua :

1. Hal Muakkidah, sebagai pengokohan, yakni tidak ada makna lain selain sebagai taukid (dijelaskan pada akhir Bab Haal).

2. Hal Mubayyinah, sebagai penjelasan, yakni Sifat Fadhlah/Sambilan yg dinashobkan untuk menerangkan HAI’AH/tingkah/gaya shohibul-haal ketika terjadinya perkerjaan utama.

Penjelasan definisi dan pengertian Hal pada poin 2:

SIFAT : Suatu yg menunjukkan makna dan dzat. contoh ROOKIBUN = berkendara, FARIHUN = bergembira, MASRUURUN = bergembira. dll. Sifat adalah jenis dapat mencakup Hal, Khobar juga Na’at.

FADHLAH : tambahan/sambilan, adalah hal yg bukan pokok didalam penerapan Isnad, yakni asal penyebutan FADHLAH itu adalah suatu yg tidak musti dalam kebiasaan.

MENERANGKAN HAI’AH/TINGKAH SHAHIBUL-HAL: Maksud Shahibul Hal adalah suatu yang diterangkan tingkahnya oleh Haal. yakni penerangan sifatnya diwaktu pekerjaan terjadi. Shohibul hal bisa berupa Fa’il, Naibul Fail, Maf’ul Bih, dll.
Standar untuk mengetahui sifat sebagai penunjukan HAI’AH adalah dengan cara meletakkan pertanyaan KAIFA/bagaimana? maka jawabannya tentu lafazh hal.

contoh :

جاء الضيف ماشياً

JAA’A ADH-DHOIFU MAASYIYAN* = tamu itu telah datang dengan berjalan kaki

* Lafazh MAASYIYAN adalah sebagai HAAL/keadaan yakni menerangkan HAI’AH/tingkah Isim sebelumnya yg berupa Fa’il lafazh ADH-DHOIFU. Maka lafazh MAASYIYAN ini patut sebagai jawaban dari pertanyaan KAIFA contoh KAIFA JAA’A ADH-DHOIFU?/bagaimana tamu itu datang? maka dijawab: MAASYIYAN/jalan kaki.

contoh Firman Allah:

وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ

WAD’UUHU MUKHLISHIINA* = sembahlah Allah dengan mengikhlaskan (QS. Al-A’rof :29)

*lafz “MUKHLISHIINA” adalah HAL dari lafazh Fa’il yg berupa dhamir Wawu jamak.

contoh Firman Allah:

فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ

FA BA’ATSA ALLAHU ANNABIYYIINA MUBASY-SYIRIINA WA MUNDZIRIINA*= maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. (QS. Al-Baqoroh : 213)

*lafazh “MUBASY-SYIRIINA WA MUNDZIRIINA” adalah sebagai HAAL dari lafazh Maf’ul Bih “ANNABIYYIINA”

contoh Firman Allah:

فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا

FA KULUU MIMMAA GHONIMTUM HALAALAN THOYYIBAA* = Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik (QS. Al-Anfal : 69)

*dua lafazh “HALAALAN THOYYIBAA” sebagai HAL dari isim maushul yaitu MAA.

Keluar dari sebutan sifat, yaitu seperti contoh:

رجعتُ القهقرى

ROJA’TUL-QOHQOROO* = aku kembali secara mundur

* lafaz QOHQOROO tidak disebut HAAL sekalipun sebagai penjelasan tentang tingkah daripada Fa’il, karena bukan berupa sifat, tapi berupa sebutan untuk keadaan kembali ke belakang.

Keluar dari sebutan FADHLAH/sambilan, yaitu Sifat yg dijadikan UMDAH (penopang) yakni sebagai pokok atau primer, semisal menjadi Mubtada contoh:

أقائم الزيدان

A QOO’IMUN AZZADIAANI = apakah yg beridiri itu dua Zaid?
atau menjadi Khobar contoh:

زيد قائم

ZAIDUN QOO’IMUN = Zaid berdiri

Keluar dari penunjukan HAI’AH/tingkah, yaitu Tamyiz Musytaq. contoh:

لله دَرُّهُ فارساً

LILLAAHI DARRUHU! FAARISAN* = hebat! penunggangnya.

* Lafazh LILLAAHI DURRUHU! adalah ungkapan ta’jub atau pujian karena kagum. Lafazh FAARISAN dipilih sebagai TAMYIZ bukan HAL karena tidak dimaksudkan sebagai penunjukan HAI’AH tapi sebagai penunjukan pujian daripada kepandaiannya menunggang kuda. Namun demikian bisa saja terjadi sebagai penerangan HAI’AH tergantung dari maksudnya. Seperti itu  juga NA’AT MANSHUB contoh:

رأيت رجلاً واقفاً

RO’AITU ROJULAN WAAQIFAN* = aku lihat lelaki yg menetap.

*Lafaz WAAQIFAN dipilih sebagai NA’AT bukan HAAL, karena memang tidak disusun menjadi HAL  tetapi disusun untuk menghususi pada MAN’UT. Namun demikian bisa saja disusun sebagai penerangan HAI’AH, ini tergantung pada Konteks Kalimatnya.

Pengertian Tanazu’ dan Syarat-syaratnya » Alfiyah Bait 278-279

30 November 2011 9 komentar
–·•Ο•·–

التنازع في العمل

BAB TANAAZU’ DALAM AMAL

إِنْ عَامِلاَنِ اقْتَضَيَا فِي اسْمٍ عَمَلْ ¤ قَبْلُ فَلِلْوَاحِدِ مِنْهُمَا الْعَمَلْ

Jika dua Amil menuntut pengamalan di dalam suatu isim dan keduanya berada sebelum isim, maka pengamalan berlaku bagi salah satu saja dari keduanya

وَالثَّانِ أَوْلَى عِنْدَ أَهْلِ الْبَصْرَهْ ¤ وَاخْتَارَ عَكْساً غَيْرُهُمْ ذَا أُسْرَهْ

Amil yang kedua lebih utama (beramal) menurut Ahli Bashroh. Selain mereka -yg mempunyai golongan kuat- memilih sebaliknya (amil yg pertama lebih utama beramal)

–·•Ο•·–

Pengertian Tanazu’ menurut bahasa adalah: pertentangan. Pengertian Tanaazu’ menurut istilah Ilmu Nahwu adalah: dua Amil menghadapi satu ma’mul. Contoh:

سمعت ورأيت القارئ

SAMI’TU WA ROAITU AL-QOORI’A* = aku mendengar dan melihat si qori’ itu.

*Masing-masing dari lafaz SAMI’TU dan ROAITU bertentangan menuntut lafaz AL-QOORI’A sebagai Maf’ul Bihnya.

Manuskrip Syarah Alfiyah Ibnu Malik. Penyusun Tidak diketahui. Penyarah Tidak diketahui. Jumlah Halaman 88. Naskah Kurang. Sumber: http://www.mahaja.com/library/manuscripts/manuscript/676

Tidak ada perbedaan antara kedua Amil baik berupa dua Fi’il seperti contoh diatas, atau dua Isim ataupun campuran.

Contoh kedua amil berupa dua Isim:

أنا سامعٌ ومشاهدٌ القارئ

ANA SAAMI’UN WA MUSYAAHIDUN AL-QOORI’A = aku mendengar dan menonton si qori’ itu.

Contoh kedua amil campuran berupa Isim Fi’il dan Fi’il, Firman Allah:

هآؤم اقرءوا كتابيه

HAA’UMUQRO’UU KITAABIYAH* = “Ambillah, bacalah kitabku (ini).” (al-Haaqqah : 19)

* Amil pertama berupa Isim Fi’il Amar yaitu Lafaz HAA’UMU sinonim dg lafaz KHUDZ (ambillah) huruf Mim tanda Jamak. Amil kedua berupa Fi’il Amar yaitu Lafaz IQRO’UU.

Terkadang Tanazu’ terjadi antara lebih dari dua Amil. Dan terkadang Mutanaza’ Fih (ma’mul tanazu’) lebih dari satu.

Contoh Tanazu’ antara tiga Amil:

يجلس ويسمع ويكتب المتعلم

YAJLISU WA YASMA’U WA YAKTUBU AL-MUTA’ALLIMU* = Pelajar itu duduk, mendengar dan menulis.

* masing-masing dari lafaz YAJLISU, YASMA’U dan YAKTUBU menuntut lafaz AL-MUTA’ALLIMU sebagai Faa’ilnya.

Contoh Tanazu’ antara tiga Amil di dalam isim Mutanaza’ Fih lebih dari satu. Nabi bersabda:

تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل صلاة ثلاثا وثلاثين

TUSABBIHUUNA WA TAHMADUUNA WA TUKABBIRUUNA KHOLFA KULLI SHOLAATIN TSALAATSAN WA TSALAATSIINA* = kalian bertasbih, bertahmid dan bertakbir sehabis tiap Sholat, sebanyak  33 kali. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

*lafaz KHOLFA dinashobkan sebagai Zhorof dan lafaz TSALAATSAN WA TSALAATSIINA dinashobkan sebagai Maf’ul Muthlaq. Masing-masing ketiga Amil menuntut pengamalan terhadap masing-masing dua Ma’mul.

Syarat-syarat Tanaazu’ bagi kedua Amil adalah:

  1. Harus dikedepankan dari Ma’mulnya.
  2. Diantara dua Amil harus ada Irthibath (hubungan) baik secara Athof atau semacamnya.

Maka tidak dinamakan Tanaazu’ apabila kedua Amil diakhirkan. Contoh:

زيد قام وقعد

ZAIDUN QOOMA WA QO’ADA* = Zaid berdiri kemudian duduk

*Masing-masing Fi’il mempunyai dhamir sebagai ma’mulnya yg merujuk pada Isim yang berada di depannya yaitu lafal ZAIDUN.

Dan tidak pula dinamakan tanazu’ apabila antara dua Amil tidak terdapat irthibath, contoh:

قام قعد زيد

QOOMA QO’ADA ZAIDUN

Dengan demikian apabila terdapat dua Amil mencukupi syarat disebut Tanaazu’, maka salah satu Amil beramal pada Isim Zhahir. Sedangkan Amil yg lain beramal pada Dhamir Isim Zhohir tsb atau disebut Amil Muhmal. Mengenai hal ini tidak ada khilaf antara Ulama Bashroh dan Kufah. Namun yg menjadi ikhtilaf dalam bab Tanazu’ ini adalah dalam hal mana yg lebih utama beramal antara Amil yg pertama dengan Amil yg kedua. Ulama Bashroh memilih Amil kedua beramal karena dekatnya dengan Isim Ma’mul. Sedangkan Ulama Kufah memilih Amil pertama beramal karena ia dikedepankan.

Fi’il Muta’addi dan Fi’il Lazim Definisi dan Tanda-tandanya » Alfiyah Bait 267-268

27 November 2011 23 komentar
–·•Ο•·–

تعدي الفعل ولزومه

FI’IL MUTA’ADDI DAN FI’IL LAZIM

عَلاَمَةُ الْفِعْلِ الْمُعَدَّى أَنْ تَصِلْ ¤ هَا غَيْرِ مَصْدَرٍ بِهِ نَحْوُ عَمِلْ

Tanda Kalimah Fi’il yang Muta’addi adalah dibenarkan kamu menyambungnya dengan “HA” dhamir selain yg merujuk pada Masdar. Demikian seperti contoh “AMILA = melakukan”

فَانْصِبْ بِهِ مَفْعولَهُ إِنْ لَمْ يَنُبْ ¤ عَنْ فَاعِلٍ نَحْوُ تَدَبَّرْتُ الْكُتُبْ

Maka nashobkanlah dengan Fi’il Muta’addin ini terhadap Maf’ulnya jika ia lagi tidak menggantikan Fa’il (tidak menjadi Naibul Fa’il) demikian seperti contoh: “TADABBARTU ALKUTUBA = aku menelaah banyak kitab”

–·•Ο•·–

FI’IL TAM TERBAGI MENJADI MUTA’ADDI DAN LAZIM:

توضيح المقاصد والمسالك بشرح ألفية ابن مالك

1. Definisi Fi’il Muta’addi adalah: kalimah Fi’il yg sampai kepada Maf’ul tanpa perantara Huruf Jar atau perantara Huruf ta’diyah lainnya. Contoh:

ضربت زيدا

DHOROBTU ZAIDAN = Aku memukul Zaid.

2. Definisi Fi’il Lazim adalah: kalimah Fi’il yg tidak sampai kepada Maf’ul kecuali perantara Huruf Jar atau perantara Huruf ta’diyah lainnya semisal Huruf Hamzah lit-ta’diyah.

Contoh Fi’il Lazim tidak sampai kepada Maf’ul kecuali perantara Huruf Jar:

مررت بـزيد

MARORTU BI ZAIDIN = aku melewati Zaed.

Contoh Fi’il Lazim tidak sampai kepada Maf’ul kecuali perantara Hamzah:

أخرجت الزكاة

AKHROJTU AZ-ZAKAATA = aku mengeluarkan zakat.

¤¤¤

TANDA-TANDA FI’IL MUTA’ADDI DAN FI’IL LAZIM:

1. Tanda-tanda Fi’il Muta’addi:

1. Dapat disambung dengan HA Dhamir yg tidak merujuk pada Masdar (yakni Dhamir Maf’ul Bih).

2. Dapat dibentuk shighat Isim Maf’ul Tam (tampa kebutuhan huruf jar).

Contoh dapat bersambung dengan HA Dhamir yg tidak merujuk pada Masdar *

ضربتــه

DHOROBTUHUU = aku memukulnya

* bukan sebagai tanda Fi’il Mutaadi, karena HA dhamir merujuk pada Masdar sama bisa disambung dengan Fi’il Muta’addi juga Fi’il Lazim, contoh:

الضرب ضربتــه

ADH-DHORBU DHOROBTUHUU = pukulan itu aku yg memukulnya

القيام قمتــه

AL-QIYAAMU QUMTUHUU = berdiri itu aku yg berdirinya

Demikian juga bersambung dg HA dhamir merujuk pada Zhorof (zaman/makan), tidak boleh sebagai tanda Fi’il Muta’addi, sebab butuh tawassu’/taqdir huruf jar, contoh:

الليلةَ قمتــها والنهارَ صمتــها

ALLAILATA QUMTUHAA, WAN-NAHAARO SHUMTUHAA = aku berdiri di malam hari dan aku berpuasa di siang hari.

Sesungguhnya taqdirannya sebelum membuang huruf jar adalah:

الليلةَ قمت فيها والنهارَ صمت فيه

ALLAILATA QUMTU FII HAA, WAN-NAHAARO SHUMTU FII HAA.

¤¤¤

Tambahan:

Sebagian ulama Nuhat berpendapat bahwa kalimah Fi’il terbagi menjadi tiga: 1. MUTA’ADDI, 2. LAZIM dan ditambah 3. Fi’il TIDAK MUTA’ADDI PUN TIDAK LAZIM: yaitu KAANA dan saudara-saudaranya, sebab KAANA tidak menashobakan Maf’ul Bih juga tidak dapat dimuta’addikan dengan huruf jar, seperti itu juga Fi’il-fi’il yg kadang ditemukan Muta’addi sendirinya dan kadang Muta’addin dengan perantara huruf jar, seperti contoh:

شكرتــه وشكرت له

SYAKARTUHUU dan SYAKRTU LAHUU = aku berterima kasih padanya

نصحتــه ونصحت له

NASHOHTUHUU dan NASHOHTU LAHUU = aku menasehatinya.

Maka dikatakan bahwa KAANA cs, tidaklah keluar dari pembagian Fi’il yg dua. KAANA termasuk dari Fi’il Muta’addi karena khobarnya diserupakan Maf’ul Bihnya.

Demikian juga lafazh SYAKARTU wa SYAKARTU LAHUU cs… tidaklah keluar dari dua pembagian fi’il: dikatakan Fi’il Muta’adi karena lafaz SYAKARTU LAHUU Huruf Jar sebagai Zaidah. Atau dikatakan Fi’il Lazim karena lafazh SYAKARTU naza’ khofidh atau membuang huruf jar.

Hukum Fi’il Muta’addi adalah: menashobkan terhadap MAF’UL BIH yg tidak menjadi NAIBUL FAA’IL

Pengertian MAF’UL BIH (objek) adalah: Isim yg dinashobkan yg dikenai langsung oleh pekerjaan FA’IL tanpa perantaraan, baik dalam kalam Mutsbat (kalimat positif) atau dalam kalam Manfi (kalimat negatif):

Contoh KALAM MUTSBAT

فهمت الدرس

FAHIMTU AD-DARSA = aku memahami pelajaran

Contoh KALAM MANFI

لم أفهم الدرس

LAM AFHAM AD-DARSA = aku tidak memahami pelajaran.

¤¤¤

2. Tanda-tanda Fi’il Lazim:

Akan dijelaskan pada bait selanjutnya… Insya Allah.

Definisi Isim Mu’rob – Alfiyah Bait 18

30 Agustus 2010 20 komentar

وَمُعْرَبُ الأَسْمَاءِ مَا قَدْ سَلِمَا ¤ مِنْ شَبَهِ الْحَرْفِ كَأَرْضٍ وَسُمَا

Adapun Mu’robnya Kalimah-kalimah Isim, adalah Isim yang benar-benar selamat dari serupa Kalimah Huruf seperi contoh: “Ardhin” dan “Sumaa”.

Kitab Syarah Ibnu Aqil

Bait ini menerangkan bahwa Isim Mu’rob berlawanan dengan Isim Mabni, artinya: dikatakan Isim Mu’rob karena tidak ada keserupaan dengan Kalimah Huruf, baik Isim Mu’rob itu Shahih akhir tidak ada huruf illat seperti أَرْض, (Ardhin : Bumi) atau Mu’tal yang diakhiri dengan huruf illat seperti سُمَا (Sumaa : Nama, salah satu bahasa dari kata ٌاسْم), juga Isim Mu’rob itu ada yang “Mutamakkin Amkan” pantas tanwin dan mungkin (Isim Munshorif) seperti ُزَيْد , عَمْرٌو dan ada yang “Mutamakkin Ghair Amkan” pantas tanwin tapi tidak mungkin (Isim tidak Munshorif) seperti ُأَحْمَدُ , مَسَاجِدُ, مَصَابِيْح . Sedangkan Isim Mabni disebut “Ghairu Mutamakkin” sama sekali tidak pantas tanwin.

Referensi : Nadzom Alfiyah | Syarh Ibnu Aqil