Arsip

Posts Tagged ‘Badal’

Tabi’ Munada Mabni Dhammah » Alfiyah Bait 585-586-587

28 Februari 2012 2 komentar
–·•Ο•·–

فصْل في تابع المنادى

FASAL MENERANGKAN TABI’ MUNADA 

تَابعَ ذِيْ الضَّمِّ المُضَافَ دُونَ ألْ ¤ ألْزِمْهُ نَصْباً كَأَزَيْدُ ذَا الْحِيَلْ

Terhadap Tabi’ yg mengikuti Munada mabni dhommah (munada mufrod alam/nakirah maksudah) yang mana Tabi’ tsb mudhaf tanpa AL, hukumilah ia wajib Nashob, contoh: “A, Zaidu dzal-hiyal” (Wahai, Zaid si empunya ide..!) 

وَمَا سِوَاهُ ارْفَعْ أوِ انْصَبْ وَاجْعَلَا ¤ كَمُسْتَقِلٍّ نَسَقاً وَبَدَلا

Selain Tabi’ Munada yg mudhaf tanpa Al sebagaimana diatas (yakni berupa tabi’ munada yg mufrod atau mudhaf menyandang AL) maka boleh rofa’kanlah atau nashobkanlah. Sedangkan tabi’nya yg berupa Athaf Nasaq dan Badal, hukumilah sebagaimana Munada itu sendiri (yakni, mabni dhammah jika mufrod atau Nashab jika Mudhaf). 

وَإنْ يَكُنْ مَصْحُوبَ ألْ مَا نُسِقَا ¤ ففِيهِ وَجْهَانِ وَرَفْعٌ يُنْتَقَى

Jika Tabi’nya yg berupa Athaf Nasaq yg disandangi AL, maka boleh dua jalan (Rofa’ atau Nashob) sedangkan Rofa adalah jalan yg terpilih. 

–·•Ο•·–

Fasal ini diangkat oleh Mushannif untuk menerangkan hukum Tabi’ kepada Munada, semisal Na’at dan lain-lainnya. Telah dijelaskan pada Bab sebelumnya bahwa Munada didalam tarkibnya terdapat dua keadaan hukum:  1. Mabni dan 2. Nashab

Untuk Munada Mabni, maka hukum Tab’inya ditafsil sebagai berikut:

1. Apabila Munada Mabni dan Tabi’nya berupa Isim Mudhaf tanpa AL yang berupa Na’at, Taukid atau ‘Athaf Bayan. Maka Tabi’ disini wajib Nashab dengan petimbangan mengikuti Mahal/posisi I’rab Munada. Dan tidak boleh dimabnikan dengan mempertimbangkan Lafazh Munada.

Contoh Tabi’ Munada berupa Na’at yang mudhaf tanpa AL :

يا خالدُ صاحبَ محمد

YAA KHAALIDU SHAAHIBA MUHAMMADIN = wahai Khalid teman Muhammad!

Contoh Tabi’ Munada berupa Athaf Bayan yang mudhaf tanpa AL :

يا صالحُ أبا عبد الله

YAA SHAALIHU ABAA ‘ABDILLAAHI = wahai Shaleh bapak Abdullah!

Contoh Tabi’ Munada berupa Taukid yang mudhaf tanpa AL :

يا تميمُ كلَّهُم

YAA TAMIIMU KULLAHUM = wahai seluruh bani Tamim…!

2. Apabila Munada Mabni dan Isim Tabi’nya berupa Mudhaf dg menyandang AL atau berupa mufrod (tidak mudhaf). Maka Tabi’-tabi’ tersebut boleh Rofa’ dan Nashab. Rofa’ dengan pertimbangan mengikuti Lafazh Munada, dan Nashab mengikuti Mahal/posisi I’rab Munada.

Contoh pada Tabi’ berupa Athaf Bayan:

يا رجلُ زيدٌ وزيداً

YAA ROJULU ZAIDUN / ZAIDAN = wahai seorang Zaid…!

Contoh pada Tabi’ berupa Taukid:

يا تميم أجمعون وأجمعين

YAA TAMIIMU AJMA’UUNA / AJMA’IINA = wahai bani Tamim semuanya..!

Termasuk pada hukum Tabi’ nomer 2 – boleh rofa’ dan nashab, yaitu Athaf Nasaq yg menyandang AL, contoh :

يا خالدُ والطالب

YAA KHAALIDU WAT-THAALIBU / AT-THAALIBA = wahai Khalid dan seorang Santri.

Pada contoh ini lebih baik memilih Rofa’ menurut Imam Khalil dan Imam Sibawaihi demikian untuk menyamai pada lafazh Matbu’.

Namun dalam Al-Qur’an ditemukan Nashab, contoh:

يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ

YAA JIBAALU AWWIBII MA’AHUU WAT-THAIRO = “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”

Qiro’ah Sab’ah membaca Nashab sebagai athaf kepada mahal i’rab JIBAALU. Para Nuhat seperti Imam Sibawaih dan Imam Khalil mereka memahami dalam ayat ini bahwa Nashabnya lafazh AT-THAIRO athaf kepada lafazh FADHLAN sebelumnya.

3. Apabila Munada Mabni dan Isim Tabi’nya berupa Athaf Nasaq tanpa AL atau berupa Badal, maka dihukumi sebagaimana hukum Munada secara mandiri: Mabni apabila Mufrad (tidak mudhaf) dan Nashab apabila Mudhaf, contoh:

Athaf Nasaq tanpa AL :

يا خالدُ ومحمدُ

YAA KHAALIDU WA MUHAMMADU! = hai Khalid dan Muhammad.

Badal :

يا رجلُ خالدُ

YAA ROJULU KHAALIDU! = hai seorang lelaki Khalid..!.

Dua contoh Tabi’ diatas dihukumi seperti Munada Mufrad seperti hukum mengatakan :

يا محمدُ ويا خالدُ

YAA MUHAMMADU dan YAA KHAALIDU = Hai Muhammad! dan Hai Khalid!

Athaf Nasaq tanpa AL, Nashab karena Mudhaf:

يا خالد وصاحبَ الدار

YAA KHAALIDU WA SHAAHIBAD-DAARI = wahai Khalid dan Pemilik rumah..!

Contoh Badal, Nashab karena Mudhaf:

يا زيد أبا عبد الله

YAA ZAIDU ABAA ‘ABDILLAAHI = wahai Zaid bapak Abdullah..!

Definisi Badal : Tabi’ maksud hukum tanpa perantara » Alfiyah Bait 565

25 Februari 2012 8 komentar
–·•Ο•·–

الْبَدَلُ

BAB BADAL 

التَّابعُ المَقْصُودُ بالْحُكْمِ بلا ¤ وَاسِطَةٍ هُوَ المُسَمَّى بَدَلا

Isim Tabi’ yang dimaksudkan oleh penyebutan hukum tanpa perantara (huruf Athaf), demikian dinamakan Badal. 

–·•Ο•·–

Bab ini menerangkan bagian ke lima dari Isim-isim Tawabi’, yaitu BADAL.

Definisi Badal : Isim Tabi’ yang dimaksudkan oleh penyebutan hukum dengan tanpa perantara huruf Athaf antara Badal dan Mubdal Minhunya. Contoh:

عَمَّ الرخاء في زمن الخليفة عمر بن عبد العزيز

AMMA AR-RAKHAA’U FIY ZAMANI AL-KHALIIFATI ‘UMARO BNI ‘ABDIL ‘AZIIZI = Ketentraman menyeluruh pada masa Khalifah Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz.

Lafazh UMARO = Sebagai badal dari lafazh KHALIIFATI, dan sebagai lafazh yg dimaksudkan oleh penisbatan hukum.
Andaikan cukup hanya menyebut Khalifah maka tidak diketahui siapakah Khalifah yang dimaksud, karena sebutan Khalifah bukanlah maksud dari dzat Umar bin Abd Aziz itu sendiri. Akan tetapi sebutan Kholifah sebagai Tamhid (pembuka) bagi lafazh sesudahnya, agar kalimat diterima lebih kuat didalam hati si pendengar.

Penjelasan Definisi :

TABI :

Isim jenis bagian dari Tawabi’.

YANG DIMAKSUDKAN OLEH HUKUM :

Sebagai qayyid awal atau sebagai batasan definisi bagian pertama untuk membedakan dengan pengertian Tawabi’ yang lain seperti Na’at, Athaf Bayan dan Taukid, karena Tabi’-tabi’ tsb sebatas penyempurna bagi Matbu’nya yg dikenai penisbatan hukum, dan bukan sebagai Tabi’ yang dinisbati oleh hukum itu sendiri.

Qayyid diatas juga dapat membedakan dengan pengertian Athaf Nasaq dengan Huruf Wawu dan serupanya, contoh:

جاء صالح وعاصم

JAA’A SHAALIHUN WA ‘AASHIMUN = Shaleh dan Ashim telah datang.

Maksud hukum (JAA’A) pada contoh ini tidak hanya tertuju pada Tabi’ (AASHIMUN) tapi juga tertuju pada Matbu’ (SHAALIHUN).

Demikian juga Ma’thuf dengan huruf “LAA”, contoh:

جاء عاصم لا صالح

JAA’A ‘AASHIMUN LAA SHAALIHUN = Ashim datang Zaid tidak.

Lafazh setelah huruf Athaf LAA yaitu lafazh “SHAALIHUN” sebagai Tabi’ tapi tidak dikenai maksud hukum.

Demikian juga Ma’thuf dengan huruf “BAL” setelah nafi (kalimat negative), contoh:

ما جاء صالح بل عاصم

MAA JAA’A SHAALIHUN BAL ‘AASHIMUN = Shaleh tidak datang tapi Ashim.

yang dikenai maksud hukum “tidak datang” dalam contoh ini adalah Matbu’ yaitu lafazh SHAALIHUN.

TANPA HURUF PERANTARA:

Sebagai Qayyid Tsani atau sebagai batasan definisi bagian kedua untuk membedakan dengan Ma’thuf dengan huruf BAL setelah kalam itsbat (kalimat positive), contoh:

جاء صالح بل عاصم

JAA’A SHAALIHUN BAL ‘AASHIMUN = Shaleh datang namun Ashim.

Lafazh ‘AASHIMUN = sebagai Tabi’ yang dikenai maksud hukum, tapi disini ada huruf perantara yaitu BAL, oleh karenanya tidak dinamakan Badal.

Definisi Athaf Bayan, Idhah, Takhshish, Jamid tanpa Takwil » Alfiyah Bait 534-535

24 Februari 2012 2 komentar
–·•Ο•·–

العطف

BAB ATHAF

عطف البيان

ATHAF BAYAN 

الْعَطْفُ إِمَّا ذُو بِيانِ أوْ نَسَقْ ¤ وَالْغَرَضُ الآن بَيانُ مَا سَبَقْ

Athaf terbagi: pertama Athaf Bayan, kedua Athaf Nasaq. Sasaran kali ini menerangkan bagian Athaf yg pertama (Athaf Bayan). 

فَذُو الْبَيَانِ تَابعٌ شِبْهُ الصِّفَهْ ¤ حَقِيقَةُ الْقَصْدِ بِهِ مُنْكَشِفَهْ

Athaf Bayan adalah Tabi’ menyerupai sifat, yang-mana hakekat yang dimaksud menjadi terungkap dengannya.   

–·•Ο•·–

Bab ini menerangkan bagian ketiga dari Isim Tawabi’ yaitu ATHAF.
Athaf terbagi dua:

1. Athaf Bayan
2. Athaf Nasaq (akan diterangkan setelah Bab ini)

Definisi Athaf Bayan : Isim Tabi’ yg berfungsi sebagai Idhah (penjelas) atau sebagai Takhshish (pengkhusus), berupa Isim Jamid tanpa takwil.

Penjelasan Definisi :

TABI’ :

adalah Isim Jenis bagian dari Tawabi’.

IDHAH :

Apabila Matbu’nya berupa Isim Ma’rifah, untuk menghilangkan perkara serupa yang beredar dan mengarah pada maksud Isim Ma’rifah, dikarenakan mempunyai banyak kepenunjukan.

TAKHSHISH :

Apabila Matbu’nya berupa Isim Nakirah, untuk membatasi kepenunjukannya dan mempersempit jangkauannya.

Contoh sebagai Idhoh (penjelasan):

أكرمت محمداً أخاك

AKROMTU MUHAMMADAN AKHOOKA = aku memulyakan Muhammad Saudaramu.

Lafazh AKHOOKA = berfungsi untuk menjelaskan maksud daripada lafah “MUHAMMADAN” -sekalipun berupa Isim Ma’rifat- andaikan tanpa penyebutan Tabi’, maka ia tetap membutuhkan tambahan keterangan dan penjelasan.

Contoh sebagai Takhshish (penghusus):

سمعت كلمة خطبةً كثيرة المعاني قليلة الألفاظ

SAMI’TU KALIMATAN KHUTHBATAN KHATSIIROTAL-MA’AANIY QOLIILATAL-ALFAAZHI = saya telah mendengar kalimat khotbah yang kaya akan makna nan simpel lafazhnya.

Lafazh KHUTHBATAN = sebagai Athaf Bayan, digunakan sebagai pengkhusus dari Isim Nakirah “KALIMATAN” dikarenakan banyaknya kepenunjukannya bisa kalimat syair, kalimat natsar, kalimat khotbah, kalimat peribahasa dll. Oleh karena itu andaikan tanpa menyebut Tabi’ maka lafazh “KALIMATAN” tetap dalam status keumumannya didalam banyaknya kepenunjukannya.

Penyebutan Qoyyid IDHOH dan TAKHSHISH ini, untuk mengeluarkan pengertian Tabi’ TAUKID, Tabi’ ATHAF NASAQ dan Tabi’ BADAL.

Contoh Taukid :

جاء الأمير نفسه

JAA’A AL-AMIIRU NAFSUHUU = Penguasa telah datang sendirinya.

Contoh Athaf Nasaq :

قرأت التفسير والحديث

QORO’TU AT-TAFSIIRO WA AL-HADIITSA = aku membaca Tafsir dan Hadits.

Contoh Badal :

قضيت الدين نصفه

QODHOITU AD-DAINA NISHFAHUU = Aku melunasi hutang separuhnya.

Ketiga contoh Tabi’ diatas sesungguhnya bukan sebagai IDHOH bagi kalimah Matbu’.

Adapun Tabi’ NA’AT tidak keluar dari definisi qayyid IDHOH dan TAKHSIS tapi keluar dari qayyid lain. Na’at dan Athof Bayan bersekutu dalam hal fungsi Idhoh, akan tetapi pada Athof Bayan berfungsi sebagai penjelasan bagi dzat Matbu’, yakni penerangan eksistensi hakikat asalnya. Sedangkan pada Na’at bukan sebagai penjelasan secara langsung terhadap dzat asal Matbu’nya (man’utnya), tapi sebagai keterangan Sifat diantara sifat-sifatnya.

Contoh perbedaan fungsi IDHAH antara Na’at dan Athaf Bayan :

Contoh Na’at :

هذا خالد الكاتب

HAADZAA KHOOLIDUN AL-KAATIBU = ini adalah Khalid sang sekretaris.

Lafazh AL-KAATIBU = sebagai Na’at sebagai keterangan atau penjelas bagi Matbu’nya dengan menyebut sifat diantara sifat-sifatnya.

Contoh Athaf Bayan :

هذا التاجر خليل

HAADZAA AT-TAAJIRU KHOLIILUN = Dia ini seorang pedagang (dia) Khalil.

Lafazh KHOLIILUN = sebagai Athaf Bayan sebagai penjelasan dzat Matbu’ AT-TAAJIRU.

JAMID :

Umumnya Athaf Bayan berupa Isim Jamid, demikian juga membedakan dengan Na’at yang umumnya berupa Isim Musytaq.

TANPA TAKWIL :

Yakni tanpa ditakwil isim musytaq, juga sebagai pembeda dari Naat Jamid yg harus ditakwil Isim Musytaq, seperti contoh Naat yg berupa Isim Isyaroh :

مررت بعلي هذا

MARORTU BI ‘ALIY HAADZAA = aku berjumpa dengan Ali ini.

Lafazh HAADZAA = sebagai Naat Jamid yg ditakwil : yang hadir ini.

Pengertian Istitsna’ Mustatsna » Alfiyah Bait 316-317

15 Desember 2011 13 komentar
–·•Ο•·–

الاستثناء

AL-ISTITSNA’

مَا اسْتَثْنَتِ الاَّ مَعْ تَمَامٍ يَنْتَصِبْ ¤ وَبَعْدَ نَفْيٍ أَوْ كَنَفْيٍ انْتُخِبْ

lafazh Mustatsna oleh illa pada kalam tam hukumnya NASHOB. (Selain) jatuh sesudah Nafi atau Syibhu Nafi, dipilihlah hukum … <berlanjut>

إتْبَاعُ مَا اتَّصَلَ وَانْصِبْ مَا انْقَطَعْ ¤ وَعَنْ تَمِيمٍ فِيهِ إِبْدَالٌ وَقَعْ

TABI’ (jadi badal) bagi yg mustatsna muttashil dan harus NASHOB! bagi yang mustasna munqothi’. Menurut logat Bani Tamim, TABI’ BADAL juga berlaku pada yg mustatsna munqothi’. 

–·•Ο•·–

PENGERTIAN ISTITSNA‘ adalah : Mengecualikan dengan adat ILLA atau satu dari saudara ILLA terhadap lafaz yang masuk dalam hukum lafazh sebelum ILLA baik pemasukan hukum tsb kategori hakiki atau taqdiri.
Contoh:

قرأت الكتاب إلا صفحةً

QORO’TU AL-KITAABA ILLA SHOFHATAN* = aku telah membaca kitab itu kecuali satu halaman.

*Lafazh “SHOFHATAN” dikeluarkan/dikecualikan dari hukum lafazh sebelum adat ILLA, yaitu hukum MEMBACA (lafazh QORO’TU), karena ia termasuk dalam hukum tersebut, pemasukan seperti ini disebut hakiki, karena SHOFHATAN bagian dari AL-KITAB. maka pengecualian seperti ini dinamakan MUSTATSNA MUTTASHIL.
Contoh:

جاء القوم إلا سيارةً

JAA’A AL-QOUMU ILLA SAYYAAROTAN* = Kaum itu telah datang kecuali mobil.

*lafazh “SAYYAAROTAN” jatuh sesudah adat ILLA, ia dikecualikan dari hukum lafazh yg ada sebelum ILLA, yaitu hukum datang (lafaz JAA’A). Andaikan tidak ada ILLA ia termasuk pada hukum datangnya Kaum, pemasukan seperti ini disebut Taqdiri, karena ” SAYYAAROTAN” bukanlah jenis dari Kaum. maka pengecualian seperti ini dinamakan MUSTATSNA MUNQOTHI’

ADAWAT ISTISNA semuanya ada delapan dibagi menjadi empat bagian:

1. Kalimah huruf > ILLA
2. Kalimah Isim > GHOIRU dan SIWAA
3. Kalimah Fi’il > LAISA dan LAA YAKUUNU
4. Taroddud antara Fi’il dan Huruf > KHOLAA, ‘ADAA, HASYAA (untuk HASYAA seringnya disebut kalimah Huruf)

USLUB ISTITSNAA‘ tersusun dari tiga bagian:

1. Al-Mustatsnaa (isim yg jatuh sesudah adat istitsna’)
2. Al-Mustatsna minhu (isim yang ada sebelum adat istitsnaa’)
3. Adatul-Istitsna’ (perangkat istitsna).

I’ROB MUSTATSNA pada umumnya adalah wajib Nashob ‘ala Istitsnaiyah, dengan syarat:

1. Berupa Kalam Tamm yaitu: kalam Istitsnaa dengan menyebut Mustatsna Minhu.
2. Berupa Kalam Mujab (kalimat positif) yaitu: tanpa Nafi atau Syibhu Nafi (Nahi, Istifham bimakna Nafi).

Dalam hal ini Mustatsna wajib Nashob tidak ada perbedaan antara yang Mustatsna Muttashil dan Munqathi’ sebagimana dua contoh diatas. Contoh Firman Allah:

فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ

FA SYAARIBUU MINHU ILLA QOLIILAN MINHUM = Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka (QS. Al-Baqoroh : 249)

Juga tidak ada perbedaan antara penyebutan mustasna diakhirkan atau dikedepankan dari Mustatsna Minhu-nya, contoh:

حضر إلا علياً الأصدقاءُ

HADHORO ILLA ‘ALIYYAN AL-ASHDIQOO’U = teman-teman telah hadir kecuali Ali

((Apabila Kalam Ghoiru Tamm, yakni tanpa menyebut Mustasna Minhu, maka hukumnya akan diterangkan pada bait selanjutnya))

Apabila Kalam Tam tersebut Ghoiru Mujab atau Manfi (kalimat negatif) yakni memakai Nafi atau Syibhu Nafi, maka dalam hal ini terbagi dua:

1. Jika berupa MUSTASNA MUTTASHIL, maka boleh dibaca dua jalan: Nashob sebab Istitsnaa’ atau Tabi’ mengikuti I’rob al-Mustatsna Minhu. Contoh:

لا تعجبني الكتُب إلا النافع

LAA TU’JIBUNII AL-KUTUBU ILLAA ANNAAFI’U/ANNAAFI’A* = Kitab-kitab itu tidak membuatku kagum kecuali kemanfa’atannya.

*lafzh ANNAAFI’U/ANNAAFI’A manshub sebab Istisna, atau marfu’ sebab Tabi’ menjadi Badal dari Al-Mustatsna Minhu (AL-KUTUBU). Contoh Firman Allah:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا انفســهم

WAL-LADZIINA YARMUUNA AZWAAJAHUM WA LAM YAKUN LAHUM SYUHADAA’U ILLAA ANFUSU HUM* = Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri (QS. Annur :6)

*Qiro’ah Sab’ah membaca lafazh ANFUSU dengan Rofa’, selain pada Al-Qur’an ia boleh dibaca Nashob. Namun bacaan al-Qur’an sunnah mengikuti bacaan Mereka. Dan contoh Firmannya:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ

WA LAU ANNAA KATABNAA ‘ALAIHIM AN-IQTULUU ANFUSAKUM AW-IKHRUJUU MIN DIYAARIKUM MAA FA’ALUUHU ILLAA QOLIILUN MINHUM*
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka (QS. Annisaa’ : 66)

*Qiro’ah Sab’ah selain Ibnu ‘Aamir membaca Rofa’ terhadap lafazh “QOLIILUN” sebagai Badal dari Fa’il dhamir Wau pada lafazh “FA’ALUUHU”. Sedangkan Ibnu ‘Aamir membaca “QOLIILAN” Nashob sebab Istitsna’.

2. Jika berupa MUSTASNA MUNQOTHI’, maka harus dibaca Nashob menurut jumhur mayoritas bangsa Arab. Contoh:

ما حضر الضيوفُ إلا سيارةً

MAA HADHORO ADH-DHUYUUFU ILLAA SAYYAAROTAN = tamu-tamu tidak hadir kecuali Mobil.

Contoh FirmanNya:

مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ

MAA LAHUM BIHII MIN ‘ILMIN ILLAA-TTIBAA’A-AZHZHONNI*
Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka (QS. An Nisaa’ : 157)

*Pada lafazh ITTIBAA’A, qiro’ah sab’ah membaca Nashob.
Sedangkan bangsa Arab Bani Tamim membaca Tabi’ atau ikut I’rob pada lafazh sebelum ILLA. Sekalipun al-Mustatsna bukan jenis bagian dari al-Mustatsna Minhu. Contoh :

ما حضر الضيوفُ إلا سيارة

MAA HADHORO ADH-DHUYUUFU ILLAA SAYYAAROTUN* = tamu-tamu tidak hadir kecuali Mobil.

*Lafazh “SAYYAAROTUN” dibaca rofa’ dijadikan Badal dari lafaz “ADH-DHUYUUFU”. Demikian ini shah karena kita boleh menyatakan:

حضر سيارة

HADHORO SAYYAAROTUN = Mobil hadir.

Apabila pernyataan dalam hal ini tidak shah, maka wajib dibaca Nashob, mufakat dari semua bangsa Arab. Contoh:

ما زاد المال إلا ما نقص

MAA ZAADA ALMAALA ILLAA MAA NAQOSHO* = harta tidak bertambah kecuali yang berkurang.

*lafazh MAA NAQOSHO (maushul dan shilah) wajib mahal Nashob, karena kita tidak boleh menyatakan:

زاد النقص

ZAADA AN-NAQSHU = kurang bertambah