Arsip

Archive for the ‘Bait 474-475’ Category

Pengertian Ta’ajjub dan tanda i’rabnya » Alfiyah Bait 474-475

27 Januari 2012 4 komentar
–·•Ο•·–

التَّعَجُّبُ

BAB TA’AJJUB (TAKJUB)

بِأفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا ¤ أوْ جِئْ بِأفْعِلْ قَبْلَ مَجْرُورٍ ببَا

Berucaplah dengan wazan AF’ALA setelah MAA (MAA AF’ALA) sebagai ungkapan takjub, atau boleh gunakan wazan AF’IL sebelum Majrur oleh BA’ (AF’IL BIHI) 

وَتِلْوَ أفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كما ¤ أوْفَى خَلِيلَيْنَا وَأصْدِقْ بِهِمَا

Nashabkanlah terhadap kalimah yang jatuh sesudah wazan AF’ALA seperti: MAA AUFAA KHOLIILAINAA WA ASHDIQ BI HIMAA (alangkah alimnya kedua sahabatku ini dan alangkah benar keduanya) 

–·•Ο•·–

Ta’ajjub adalah : perasaan di dalam hati ketika merasakan adanya suatu hal yang dibodohi penyebabnya. Ta’ajjub dalam hal ini terbagi dua macam:

Pertama: Tanpa kaidah, hanya dapat diketahui melalui qarinah atau sesuatu yang menunjukan maksud Ta’ajjub.
contoh dalam Ayat Al-Qur’an:

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, (QS. Al-Baqarah:28)

Lafaz KAIFA = Isim Istifham mabni fathah menempati posisi nashab sebagai Hal. dan disini ia berfaidah Ta’ajjub.

Contoh dalam Hadits, dari Abi Hurairah Nabi Bersabda:

سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

Subhaanallaah! sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.

Lafaz Subhaanallaah = Isim Mashdar yg dinashobkan oleh Fi’il yang terbuang, sebagai ungkapan takjub dari sebab perkataan Abu Hurairah sebelumnya; bahwa seseorang menjadi najis sebab junub.

dan contoh perkataan orang arab:

لله دره فارساً

alangkah hebat! kemahirannya menunggang kuda

Lafazh FAARISAN nashab sebagai Tamyiz yang dikehendaki ta’ajjub.

Kedua: Ta’ajjub qiasi, mempergunakan dua bentuk shighat secara qias, yaitu “MAA AF’ALA” dan “AF’IL BIHI”.

1. Shighat Ta’ajjub “MAA AF’ALA”, contoh:

ما أوسع الحديقة!

MAA AWSA’AL-HADIIQAH! = alangkah luas kebun ini.

Lafaz MAA = Maa ta’ajjub isim Nakirah Tamm, mabni sukun mahal rofa’ menjadi Mubtada’. disebut Isim Nakirah karena punya arti syai’un/sesuatu. dan disebut Tamm karena tidak butuh pada qayyid lain kecuali khobar. Disusun sebagai permulaan kalimat menjadi mubtada’ yang mengandung makna Ta’ajjub.

Lafaz AWSA’A = Fi’il Madhi mabni fathah, bukti bahwa ia kalimah Fiil ketika bersambung dengan Ya’ Mutakallim dipastikannya memasang Nun Wiqayah seperti pada contoh:

أفقرني إلى عفو الله

MAA AFQARANIY ILAA ‘AFWILLAAHI = alangkah fakirnya aku akan pengampunan Allah.

Failnya berupa dhamir mustatir takdirannya Huwa rujuk pada MAA.

lafazh AL-HADIIQAH = Maf’ul Bih dinashabkan oleh AWSA’A. Jumlah Fi’il, Fa’il dan Maf’ul Bih adalah Khobar Jumlah dari Mubtada’ MAA.

2. Shighat Ta’ajjub “AF’IL BIHII”, contoh:

أقبح بالبخل!

AQBIH BIL-BUKHLI = Alangkah jeleknya kikir itu.

Sama halnya dengan mengucapkan:

ما أقبحه

MAA AQBAHA HUU = Alangkah jeleknya kikir itu.

karena dua bentuk ta’ajjub tsb bertujuan sama pada satu objek (AL-BUKHLI) sebagai Mad-lulnya.

Lafaz AQBIH = adalah Fi’il madhi dalam shighat Fi’il Amar, mabni Fathah muqaddar karena berbentuk seperti Fi’il Amar. Asalnya AF’ALA yakni shighat Fi’il Madhi dengan tambahan Hazmah yang berfaidah SHAIRURAH/menjadi, sebagaimana contoh:

أقبح البخل

AQBAHA AL-BUKHLU = kebakhilan menjadi bersifat jelek.

Sebagaimana mereka mengatakan:

أبقلت الأرض

ABQALAT AL-ARDHU = Bumi itu menjadi bertunas (tumbuh tunas)

أثمرت الشجرة

ATSMARAT ASY-SYAJARA = Pohon itu menjadi berbuah.

Dengan demikian penggunaan Fi’il Madhi dengan rupa Fi’il Amar tersebut tiada lain hanya untuk tujuan Ta’ajjub. Dan dikarenakan seperti shighat Fi’il Amar itulah maka tidak benar jika musnad langsung kepada isim zhahir, oleh karena itu pada Fa’ilnya ditambahi huruf Jar BA’ .

Huruf BA‘ = Zaidah.

Lafazh AL-BUKHLI = menjadi Fa’il rofa’ dengan Dhammah muqaddar, tercegah irab zhahirnya karena tempatnya sudah didahului oleh huruf jar zaidah.